loading...
Selain dikenal agak lambat mengambil keputusan, satu hal yang cukup membekas di hati rakyat dari SBY, Presiden RI keenam itu, adalah sikapnya yang cenderung cengeng setiap kali ia mendapat serangan dari lawan politiknya, atau ketika ia didemo oleh masyarakat terkait berbagai kebijakannya. Ia kerap mewek seakan sedang dizalimi.
Tidak jarang SBY menyampaikan curahan dan kegundahan hatinya lewat sebuah konferensi pers yang diliput oleh para juru warta dengan puluhan kamera televisi mengarah kepada pendiri partai berlogo mercy itu. Para awak media rela menunggu berjam-jam hanya untuk meliput ungkapan kegalauan sang jenderal bintang empat itu.
SBY memang begitu. Menempatkan diri seolah-olah sedang dizalimi, atau seolah-olah menjadi korban (playing victim) menjadi senjata andalan SBY dalam aktivitas politiknya. Strategi politik playing victim tersebut bahkan sudah ia mainkan dengan begitu apik dan cantik sejak ia pertama kali ikut bertarung sebagai calon presiden pada Pilpres 2004 silam.
Strategi politik pencitraan seakan-akan terzalimi itu, sepertinya ingin kembali ia mainkan pada masa-masa kampanye Pemilu tahun ini. Saya berpikir, jika SBY masih tetap ngotot menerapkan strategi playing victim tersebut, niscaya ia akan semakin ditinggalkan oleh rakyat. Sebab sesungguhnya, rakyat sudah paham betul dengan strategi itu.
Terbukti, pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, strategi yang pernah mengantarkannya hingga dua periode duduk sebagai RI 1, ternyata gagal total. AHY hanya mampu finish di urutan ketiga. Anak sulungnya itu harus kandas di babak penyisihan. Seharusnya SBY menyadari itu. Namun nampaknya ia dan segenap kadernya akan tetap memainkan strategi gagal itu.
Dalam kunjungannya ke Riau Sabtu kemarin (15/12), sebuah drama murahan yang sesungguhnya hanya sebuah cara SBY untuk membangun kembali citranya yang mulai meredup, tersaji. Ada yang masih percaya bahwa itu bukan drama, namun sebagian besar warganet segera berkesimpulan bahwa itu hanyalah cara SBY untuk menarik simpati rakyat.
Sepertinya, jauh-jauh hari sebelum kejadian pengoyakan beberapa baliho Partai Demokrat, yang gambar dirinya dan Ibu Ani terpampang di sana, SBY dan para pejabat teras partai yang didirikannya itu telah berbagi peran. Jadi, apa yang kita lihat kemarin, hingga SBY hampir meneteskan air mata, tidak ujug-ujug terjadi begitu saja.
Semuanya telah diatur. Siapa yang akan mengoyak baliho, siapa yang akan menjadi juru kamera, siapa yang akan mencuit lewat twitter dan media sosial lainnya agar kejadian itu segera trending, dan hingga pada puncaknya, drama itu akan ditutup oleh SBY dengan menyampaikan “keprihatinannya” kepada para juru warta dengan gayanya yang khas.
Adalah Ferdinand Hutahaean yang didaulat memulai permainan. Lewat akun twitter-nya, ia mencuit tak karuan. Ia menuduh PDIP dan Jokowi di balik perusakan baliho tersebut. Ia menyebut bahwa para perusak baliho itu diangkut dengan sebuah mobil pick up merah. Ia menulis “Pahamkan hubungannya sedan MERAH? Merah lho warnanya?”
Goblok benar bukan? Sebodoh itukah PDIP jika benar-benar ingin merusak baliho-baliho itu? Saya jadi teringat drama Setya Novanto dan Ratna Sarumpaet yang sangat memalukan itu. Kalau hendak berbohong dan menipu rakyat, profesional dikit napa sih? Permainan seperti itu hanya sebuah drama kacangan yang anak TK atau PAUD juga bisa memerankannya.
Kader-kader yang lain seperti Hinca Panjaitan, Andi Arif, dan sang putra mahkota, AHY, juga turut memviralkan drama itu, dengan cuitan-cuitan mereka yang seakan-akan menuduh rezim Jokowi sebagai otak di balik perusakan baliho itu. Berita itu segera menyebar dan ditanggapi beragam oleh para netizen.
Lalu, dengan begitu dramatis seakan ingin menitikkan air mata, SBY mengakhiri episode pertama drama itu. Ia berucap,
“Saya ini bukan capres. Saya tidak berkompetisi dengan Bapak Presiden Jokowi. Saya sebagai pemimpin Partai Demokrat berikhtiar, berjuang dengan cara-cara yang baik, yang amanah, sesuai dengan yang diatur dalam konstitusi dan Undang-undang. Tapi, kenyataan ini yang kami dapatkan.
“Oleh karena itu saya perintahkan kepada sekjen dan pemimpin Demokrat di Riau dan Pekanbaru agar semua atribut ucapan selamat datang atas kunjungan saya ke Riau dan bendera Demokrat diturunkan. Lebih baik mengalah dan diturunkan daripada bendera-bendera kita baliho-baliho yang tidak bersalah dirobek.”
SBY memang gitu orangnya. Karena rumahnya tiba-tiba saja digeruduk oleh sekelompok massa beberapa waktu lalu, dengan begitu lebaynya ia segera menyalahkan Jokowi dan Kapolri. Pun pada Pilkada Jabar lalu, ia juga menyalahkan Jokowi karena ia merasa bahwa TNI, BIN, dan Polri tidak netral, sekalipun ia tidak dapat membuktikannya.
Kemarin, baliho partainya dirusak, ia kembali menyalahkan Jokowi. Aneh benar mantan presiden yang satu ini. Mantan presiden kok seperti itu ya. Ia bukan justru menempatkan dirinya sebagai seorang negarawan, ia bukan justru membangun optimisme bangsa. Ia justru sibuk mencitrakan diri demi kepentingan partainya pada Pemilu tahun depan.
Satu lagi yang membuat berita perusakan baliho menjadi teramat janggal adalah tertangkapnya seorang anak muda bernama Heryd Suanto yang mereka tuduh telah dibayar oleh kubu PDIP dan Jokowi. dalam video yang beredar Heryd seperti dipaksa mengakui yang bukan perbuatannya.
Agak aneh mendengar pertanyaan orang yang menginvestigasi anak muda tersebut, “Orang PDI nyuruh kau? Siapa namanya?” Lucu sekali. Si penanya begitu ngotot agar si “pelaku” mengaku bahwa ia disuruh oleh orang PDIP. Benar-benar sebuah settingan. Para kader Demokrat itu memaksa agar ia mengakui bahwa PDIP-lah otak perusakan itu.
Nah, satu lagi yang semakin meyakinkan kita bahwa perusakan itu hanya sebuah drama murahan dan pencitraan culas gaya SBY adalah setelah saya mencoba melihat akun facebook Heryd. Ternyata si kawan adalah pemuja Abdul Somad dan PKS. Ia pernah mengunggah video ceramah Abdul Somad dan meme tentang keberadaan buruh asing lewat akun facebooknya. Saya rasa sampai di sini jelas ya? Siapa Heryd sebenarnya.
Jadi sudahlah Pak SBY. Akhirilah drama murahan dan pencitraanmu itu. Sebab kami sudah paham betul strategi busuk itu. Sepuluh tahun lamanya kami disajikan dengan cara-cara berpolitik seperti yang saat ini sedang Bapak mainkan. Kami sudah tidak bisa lagi tertipu dengan strategi playing victim yang kerap Bapak mainkan itu.
0 Response to "Drama Murahan dan Pencitraan Culas Gaya SBY"
Posting Komentar