loading...
Kasus penghinaan Pancasila yang mendera Rizieq akhirnya dihentikan, SP3. Alasannya sederhana, tidak cukup bukti. Gara-gara ini, sebagian pendukung Jokowi emosi. Apalagi mereka yang dulu pernah mati-matian mendukung Ahok, lebih emosi lagi. Sejenak hidup terasa tidak adil. Buni Yani yang sudah terbukti bersalah tidak ditahan, keputusan hakim pun lebih rendah dari tuntutan jaksa. Berbanding terbalik dengan nasib Ahok yang langsung ditahan. Rizieq hidup bebas di Arab dan salah satu kasusnya dihentikan. Siapa yang bisa berdalih bahwa ada keadilan di sini?
Sementara kubu 212 sebaliknya, mereka berterima kasih kepada Jokowi yang telah menempatkan hukum sebagai sebuah supremasi dalam implementasi pengelolaan kekuasaan di Indonesia.
Dan dalam kondisi seperti ini, banyak penulis Seword bertanya, saya berada di posisi yang mana? Apa yang harus kita lakukan dan seterusnya.
Cerita tentang ketidak adilan dalam sebuah proses hukum sudah terjadi berulang kali. Dari kasus Antasari sampai Ahok. Sekalipun kasus-kasus tersebut sangat kental nuansa politiknya, namun tetap saja ada bukti-bukti yang berhasil menjeratnya ke pintu penjara. Sebab hukum tidak punya perasaan atau naluri. Hukum terdiri dari serangkaian aturan yang lengkap dan jelas.
Sejelas apapun bukti penghinaan dan provokasi yang dilakukan Rizieq, bahkan ada juga yang diorasikan di hadapan banyak polisi dan tempat umum, namun jika hukum positif kita menilai Rizieq tidak bisa dipenjara, maka dia tidak bisa dipenjara. Rizieq bisa lolos karena dua hal, tidak ada yang melaporkan dan tidak ada bukti kuat yang sesuai seperti diatur dalam undang-undang.
Jadi kalau sekarang ada relawan Ahok emosi dan ingin golput (tidak mendukung Jokowi lagi), karena kecewa terhadap penghentian kasus Rizieq terkait penghinaan Pancasila, ya biarkan saja. Namanya juga orang emosi. Dalam sistem demokrasi, setiap orang bebas memilih atau golput, dengan atau tanpa alasan.
Tapi kalau beranggapan bahwa Jokowi melakukan intervensi hukum, dalam arti penghentian kasus Rizieq adalah campur tangan Presiden, pandangan seperti ini bagi saya layak untuk dibantah atau diluruskan. Sebab dalam sistem negara kita, Presiden tidak bisa mengintervensi hukum. Dan fakta di lapangan adalah, yang menghentikan kasus penghinaan Pancasila adalah pihak kepolisian. Bukan Jokowi.
Logikanya, jika orang beranggapan kasus Rizieq dihentikan berkat Jokowi, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Jokowi tak menghentikan kasus yang menjerat Ahok? atau jangan-jangan sebagian kita sudah berpikir bahwa justru Jokowi lah yang memenjarakan Ahok?
Memang menarik untuk melihat posisi Presiden dalam situasi begini. Dulu saat Ahok masih dalam proses pemeriksaan, PA 212 dan termasuk Rizieq sendiri menghimbau agar Presiden tidak melakukan intervensi hukum, tidak melindungi Ahok. Sekarang setelah Ahok dipenjara dan Rizieq masih dalam proses hukum, PA 212 meminta kepada Presiden untuk menhentikan kasus yang menjerat Rizieq (mengintervensi hukum). Keadilan dan penegakan hukum jadi tergantung pada siapa yang sedang menjadi objeknya.
Betapapun kita percaya dan meyakini bahwa seorang Presiden Jokowi tidak akan melakukan intervensi hukum, tapi tetap saja ketika Ahok dipenjara, sebagian relawan yang juga pendukung Jokowi kecewa dan berpikir Presiden tidak melakukan apa-apa. Tidak menggunakan kekuatannya. Harapan agar Presiden melakukan intervensi hukum ada di benak para relawan, sehingga wajar kalau PA 212 menghimbau Presiden tidak melakukan hal tersebut.
Selain itu, betapapun kita percaya Presiden Jokowi juga tidak akan melindungi Rizieq dari jeratan hukum, namun tetap saja saat salah satu kasusnya dihentikan oleh pihak kepolisian, PA 212 berterima kasih kepada Presiden. Hal ini pun sejalan dengan pikiran beberapa relawan bahwa Jokowi campur tangan dalam kasus Rizieq sehingga mereka kecewa dan berniat tidak memilih Jokowi lagi ataupun golput.
Serba salah menjadi seorang Presiden Jokowi. Padahal apa yang terjadi di sekitarnya jelas bukan campur tangannya. Kasus Rizieq dilanjutkan, dianggap mengkriminalisasi ulama. Kasus Rizieq dihentikan, dianggap mengintervensi hukum. Kasus Ahok dilanjutkan dianggap tak melakukan apa-apa, tapi kalau dihentikan dianggap melinduni penista agama.
Sampai di sini, jika ada yang bertanya di mana posisi saya dan Seword? saya rasa sudah sangat jelas. Kami tetap bersama Jokowi. Kalian boleh bilang kami ini pendukung fanatik buta dan sebagainya. Tidak ada masalah. Tapi kalau ditanya kenapa masih mendukung Jokowi? karena kami adalah manusia rasional. Kami bukan manusia pemegang palu yang hanya punya masalah dengan paku.
Kalaupun semua kasus Rizieq dihentikan oleh kepolisian, termasuk kasus chat porno dan PKI, di 2019 nanti kami tetap pilih Jokowi. Kalau relawan mau golput atau mendukung lawannya, seperti Prabowo atau Gatot, ya berarti kita akan berada di tempat berbeda dan siap berhadap-hadapan. Sesederhana itu.
Alasan kami mendukung Jokowi masih sama seperti tahun 2012 lalu. Jokowi lahir dari rakyat dan bekerja keras untuk kemajuan Indonesia. Dari Solo dan Jakarta. Pada akhirnya, siapapun lawannya di 2019 nanti, kualitas mereka pasti kalah jauh dari Presiden Jokowi dalam hal pengalaman mengelola pemerintahan. Prabowo Gatot? Tak pernah menjadi kepala daerah. TGB Aher atau Anies? Apa yang sudah mereka lakukan pun kita tidak tahu. Begitulah kura-kura.
0 Response to "Ketika Jokowi Dianggap Menghentikan Kasus Rizieq dan Penjarakan Ahok"
Posting Komentar