loading...
Kamis pagi 26 Juli 2001, mentari pagi bersinar hangat. Udara tampak cerah, lalu lintas pun lancar tanpa kemacetan yang berarti.
Sebuah mobil Honda CRV dengan nomor Polisi B 999 KX tampak meluncur dengan mulus di kawasan Kemayoran, Jakarta Selatan.
Di dalam mobil tersebut, Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia, Syafiuddin Kartasasmita, SH duduk di tengah, sementara sopirnya menyopiri mobil tersebut dengan halus.
Baik sang Sopir maupun Hakim Syafiuddin Kartasasmita tidak menyadari di belakang mereka ada sepeda motor RX King dengan dua orang yang berboncengan yang membuntuti mereka.
Saat mobil Honda CRV yang ditumpangi Hakim Syafiuddin Kartasasmita tersebut melintas di Jalan Pintu Air Serdang, Kemayoran, tiba-tiba sepeda motor RX King itu menyalip dengan cepat mobil tersebut.
Dengan gerakan yang secepat kilat, pria yang dibonceng memuntahkan rentetan tembakan dari senjata FN 45. Nahas bagi sang Hakim, timah panas tembus ke lengan, dada dan rahang kanannya.
Hakim Syafiuddin Kartasasmita tewas seketika meregang nyawa, sedangkan sang sopir selamat dari muntahan peluru karena berada di depan.
Dalam tempo 1 × 24 jam aparat Kepolisian Polda Metro Jaya pun bergerak cepat menyelidiki kasus pembunuhan sadis tersebut.
Polda Metro Jaya membentuk tim yang diberi nama Tim Kobra yang dikomandoi oleh Tito Karnavian yang saat itu berusia 35 tahun dan menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Umum Polda Metro Jaya.
Setelah melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan serta sejumlah keterangan dari para saksi, Polisi menemukan benang merah pembunuhan tersebut dengan kasus Tommy Soeharto yang pernah ditangani Hakim Syafiuddin.
Kurang dari satu bulan, pihak Kepolisian akhinya menemukan titik terang menyusul penemuan senjata api, bahan peledak dan dinamit di rumah Jalan Alam Segar III No 23, Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Kapolda Metro Jaya saat itu, Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb, akhirnya menyatakan bahwa Tommy Soeharto sebagai tersangka pembunuhan terhadap Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.
Waktu pun bergulir. Polisi berhasil meringkus dua eksekutor yang menghabisi nyawa sang Hakim. Kedua eksekutor tersebut adalah Mulawarman dan Noval Hadad.
Mulawarman diringkus Polisi di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Sehari kemudian, Polisi membekuk Noval Hadad di Bidara Cina, Jati Negara, Jakarta Timur.
Dalam aksi eksekusi mereka terhadap Hakim Syafiuddin, Mulawarman bertugas mengendarai sepeda motor RX King, sedangkan Noval kebagian tugas menghajar Hakim Syafiuddin dengan rentetan tembakan.
Dari nyanyian keduanya terungkap bahwa aktor intelektual dalang pembunuhan tersebut adalah Tommy Soeharto. Mereka diperintah Tommy Soeharto membunuh mati Hakim Syafiuddin dengan imbalan bayaran sebesar Rp 100 juta.
Rupanya Tommy Soeharto dendam kesumat terhadap sang Hakim karena telah memvonisnya dalam kasus tukar guling antara PT Goro Batara Sakti dan Bulog.
Saat itu Tommy Soeharto merupakan terpidana kasus tukar guling antara PT Goro Batara Sakti dan Bulog, bersama Ricardo Gelael. Anehnya Tommy Soeharto divonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Namun Vonis bebas Tommy Soeharto tersebut justru tumbang di tangan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang terkenal tegas dan pemberani.
Pada tanggal 22 September 2000 Majelis Kasasi yang diketuai oleh Hakim Syafiuddin menghukum Tommy dan Gelael masing-masing dengan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp 30,6 miliar.
Setelah kasus pembunuhan hakim Syafiuddin tersebut terungkap, Tommy Soeharto menghilang entah kemana. Tommy pun jadi DPO dan diburu Polisi. Polisi melayangkan surat ke Interpol meminta bantuan mencari Tommy Soeharto.
Selain itu, Kapolda Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb juga melakukan pertemuan dengan mbak Tutut di Cendana untuk membahas penyerahan diri Tommy Soeharto.
Namun Tommy Soeharto tetap menghilang. Polda Metro Jaya mengultimatum Tommy Soeharto untuk segera menyerahkan diri ke Polisi. Ultimatum Polisi pun tidak digubris sama sekali oleh Tommy Soeharto.
Dengan kelicikan dan lihainya Tommy Soeharto selalu berhasil lolos dari sergapan Polisi. Dia menghilang entah ke mana tak tahu rimbanya seolah-olah lenyap ditelan bumi.
Upaya-upaya dari pihak Kepolisian agar Tommy Soeharto menyerahkan diri tidak membuahkan hasil. Batas kesabaran Polisi akhirnya habis. Polda Metro Jaya mengumumkan perintah tembak di tempat jika menemukan Tommy Soeharto.
Ultimatum tembak di tempat itu membuat Tommy Soeharto ngeper. Pengacara Tommy, Elza Syarief, buru-buru mengabarkan ke Polisi bahwa kliennya akan menyerahkan diri.
Namun gerakan Tito Karnavian bersama Tim Kobra lebih lincah. Tito dan tim berhasil meringkus Tommy Soeharto di bunker bawah tanah di sebuah rumah di kawasan Bintaro, Jakarta. Saat itu Tommy Soeharto telah mengganti identitasnya dengan nama Ibrahim.
Dalam persidangan akhirnya terungkap kejahatan Tommy Soeharto yang terbukti memyimpan sejumlah senjata api dan bahan peledak serta terlibat dalam konspirasi pembunuhan Hakim Syafiuddin Kartasasmita.
Tommy Soeharto akhirnya divonis 15 tahun penjara. Untuk kebebasan dirinya, Tommy Soeharto melayangkan surat permohonan Grasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid agar dia bisa memghirup udara bebas.
Namun permohonan Grasi Tommy Soeharto tersebut ditolak mentah-mentah oleh Presiden Gus Dur melalui Keputusan Presiden Nomor 176/G/2000.
Tulisan ini hanya catatan ringan tentang masa lalu Tommy Soeharto yang penuh dengan lumpur kejahatan. Pantaskah mental menghabisi nyawa orang lain itu mencalonkan dirinya menjadi Presiden NKRI? Tentu saja tidak.
Kura-kura begitu.
0 Response to "Sadisnya Pembunuhan Hakim Kartasasmita oleh Tommy Soeharto"
Posting Komentar