loading...
Kian hari kian kentara upaya politis menggiring beberapa nama tokoh politik naik ke permukaan untuk disandingkan dengan Jokowi pada PILPRES 2019. Bukan itu saja, survei nasional maupun sekadar jajak pendapat warung kopi pun mulai ramai meraba-raba nama yang pantas mengalahkan Jokowi.
Maka nama-nama tersebut mulai bermunculan. Satu demi satu. Ada AHY di sana, tentu tak lepas pengaruh lobi-lobi kelas tinggi ala SBY. Lalu ada nama Gatot. Nama Anies juga mencuat ke permukaan.
Nah, untuk posisi penantang petahana, dari hasil survei Nampak jelas bahwa ternyata kelas mereka masilah kelas bau kencur, jauh di bawah Jokowi. Bahkan nama Prabowo pun tak sanggup mendekati peluang kemenangan Jokowi. Jauh.
Bagi saya, yang akan ribut, ramai rawan diperebutkan pertama-tama adalah posisi pendamping Jokowi untuk maju. Sekumpulan daftar nama pasti akan disodorkan. Elektabilitas akan dihitung ulang. Kepopuleran pun akan terus dinilai.
Sekarang orang akan mulai coba memasang-masang, siapa dengan siapa paling cocok. Peluang mana yang paling pas. Persandingan mana yang paling menguntungkan. Partai politik akan terus berlomba-lomba menyeleksi nama lalu menyodorkan nama tersebut ke publik untuk test the water. Lobi-lobi akan kemudian massif dijalankan, dan tak menutup kemungkinan permainan gemerincing rupiah tak bisa dihindari.
Kontestasi PILPRES 2019 adalah momentum memperebutkan pengaruh, kekuasaan, dan kesempatan.
Anda bayangkan, semenjak Jokowi memimpin, semua arah pembangunan menjadi jelas. Pesan penting dan maha tegas yang selalu disuarakan Jokowi adalah sama “Tidak boleh ada satu rupiah pun di APBN yang dikorupsi!” Ini signal dan tanda awas yang tak main-main.
Nah, di sisi lain, bagi para mafia, pemain-pemain papan atas, pencuri, koruptor berdasi, dan semua pendosa modern tentu menganggap hal ini sebagai “musibah” bagi mereka. Pintu terkunci. Lahan basah mendadak kering. Jokowi memang ulahnya tak beda jauh dengan Ahok. Untuk itu, tidak ada kata lain selain Jokowi harus dilawan bila perlu dilengserkan.
Kaum radikal pun diperalat. Atau lebih tepat saling menunggangi. Bila para mafia ekonomi bertarung demi memperebutkan kekayaan Indonesia yang tiada terbilang ini, maka lalu kemudian kaum radikal bertopeng agamais dan keranjingan menjual-jual nama Tuhan pun berjuang demi agenda mereka sendiri. Kelompok-kelompok ini nampaknya saling memanfaatkan.
Apalagi sistem pemerintahan khilafah terus diupayakan untuk masuk Indonesia. Dapat kita bayangkan betapa hebatnya “persatuan” saling memanfaatkan ini. Para koruptor dan politisi rakus kekayaan telah bersatupadu dengan kaum radikalis anti Pancasila. Lalu ditambah lagi dengan para politikus gila kekuasaan yang tak jarang tega menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan. Ini akan sangat mengacaukan ‘arena’ PILPRES. Mereka sudah menggalang kekuatan. Gerakan 212 hanyalah riak kecil, gelombang lebih besar bisa saja sementara dipersiapkan.
Kita tentu harus bersyukur punya Presiden yang tegas dan punya integritas tak diragukan seperti Jokowi ini. Maka perlahan namun pasti keluarlah Perppu Ormas radikal dan ormas anti Pancasila. HTI yang sangat berbahaya dengan movement tersembunyi ingin menjadikan Indonesia pusat khilafah pun dijegal. Jokowi masih tetap teguh berpegang pada prinsip paling dasar dalam membangun negeri. Prinsip itu harus dijalankan dengan penuh keteguhan hati: Bebas korupsi. Bebas mafia. Bebas radikalisme. Bebas intoleransi.
Ahok dan Jokowi Sebagai Dua Sisi Koin yang Saling Melengkapi
Anda tau koin bukan? Dia punya dua sisi. Kedua sisi tersebut berbeda namun tak bisa dipisahkan. Bila hanya satu sisi maka bukan koin namanya. Pengibaratan ini mau menggambarkan kepada kita betapa kuatnya bonding atau “keterikatan” kebaikan antara Jokowi dan Ahok. Mereka bak sekeping koin yang tak terpisahkan. Raga Ahok boleh kalian kurung tetapi tidak jiwa dan pemikiran-pemikirannya. Idealismenya tak luntur oleh kungkungan jeruji besi.
Anda boleh bicara apa saja silahkan. Bagi saya, Jokowi dan Ahok sudah membuktikan bahwa mereka berdua telah benar-benar selesai dengan diri mereka. Tidak ada kepentingan memperkaya diri sendiri dan keluarga dalam kepemimpinan mereka. Kita harus jujur mengatakan bahwa sangat jarang ada pemimpin sejujur mereka berdua. Bahkan Ahok rela dipenjara untuk sesuatu yang terlalu dipaksakan dan dibuat-buat.
Ketika survei dilakukan dengan pertanyaan terbuka siapa yang pantas mendampingi Jokowi, nama Ahok muncul dengan presentasi yang tinggi. Ini juga adalah bukti bahwa masyarakat tidak buta matanya, tidak juga hatinya.
Menyandingkan kembali Jokowi dan Ahok adalah ibarat melekatkan kembali satu sisi mata uang yang sempat hilang, dirampas paksa. Sisi mata uang (koin) yang hari ini sementara dibentuk dan ditempa dalam ruang tahanan. Apapun itu, maka menyandingkan kembali Jokowi – Ahok adalah wacana yang tak boleh dianggap remeh oleh siapapun.
Kini sudah saatnya kita memperjuangkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar memimpin dengan ketulusan hati, ketegasan kata dan kerja, kesinkronan kata dan perbuatan. Terlalu banyak pemimpin munafik hadir tanpa hasil nyata. Tanpa kerja nyata. Pemimpin-pemimpin yang hanya jago bicara, lain tidak. Bahkan ada yang tak jago bicara tak pula jago bekerja. Ogah Kerja Ogah Capek. Yang penting terima gaji dan nunggu kiriman ‘upeti’. Amsyooong….!
Ketika Jokowi dan Ahok mengembangkan kepemimpinan yang terbuka, ada pemimpin yang justru senang banget menghadirkan kepemimpinan penuh ketertutupan. Mereka senang gelap-gelapan.
Oh iya tentu saja, karena bukankah gelap-gelapan itu ada keasyikkan tersendiri? Tak bakalan ada yang tau Anda ngapain aja. Tak ada yang tau Anda nyolong apa saja. Tak ada yang bakalan usik meski Anda nyusun rencana jahat. Gelap, nggak keliatan kan?
Jokowi dan Ahok hadir menawarkan pembaharuan dan kebaharuan. Gaya kepemimpinan mereka tak gampang ditiru. Mereka punya kharisma memimpin yang tidak terletak pada kata-kata, tetapi pada kerja nyata.
Berita Liputan6 hari ini mengatakan bahwa Ahok ternyata masuk dalam daftar reThinkers 2017. Atau kalau di-Indonesiakan adalah daftar ‘Pemikir Ulang Global’ tahun 2017. Ini adalah daftar nama-nama pemimpin terkemuka dunia, dan para intelektual dunia hasil pilihan majalah Foreign Policy, Amerika Serikat.
Ada beberapa nama pemimpin dunia, teknokrat, pembuat film, ahli strategi, seniman, dan banyak lagi yang masuk dalam daftar tersebut oleh karena dianggap mampu menemukan cara yang luar biasa dalam memikirkan kembali dunia kita yang baru dan aneh ini, dan membentuk kembali dunia yang baru dan aneh tersebut.
Artinya, orang-orang ini mampu bertindak mendifinisikan 2017 dengan cara dan gaya mereka masing-masing, dan hasilnya dapat dirasakan banyak orang.
Foreign Policy memilih Ahok dengan tagline: “Untuk tetap berdiri di tengah fundamentalisme yang sedang bertumbuh di Indonesia”.
Ahok katanya, “Bermulut tajam, keturunan Tionghoa, dan seorang Protestan di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia”.
Tiga tahun memerintah Jakarta pun tak luput dari sorotan. Mereka menemukan bahwa Ahok tegas melawan korupsi. Ia memperluas akses kepada warga untuk sampai pada layanan kesehatan memadai serta kepentingan sosial lainnya.
Ahok juga mengeruk kanal, memperbaiki transportasi, dan gencar melakukan pembersihan birokrasi. Ini menjadikan Ahok mendapatkan tingkat penerimaan publik yang sangat tinggi.
Dalam Bahasa saya, Ahok tidak pernah main-main dengan apa yang ia kerjakan, dan ia tidak mengerjakan sesuatu yang main-main. Banyak proyek besar ia kerjakan dengan sangat baik. Ini cerminan apa yang juga dikerjakan Jokowi di tingkat nasional.
Pada tahun 2013, Jokowi juga rupanya telah menerima penghargaan yang sama dari Foreign Policy, di Amerika, ketika saat itu ia masih menjabat sebagai Gubernur Jakarta, dan Ahok sebagai wakilnya. Waktu itu Jokowi juga masuk dalam daftar The Leading Global Thinkers of 2013.
Untuk membangun kembali bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mampu bersaing, maka orang-orang yang tepat harus duduk di tempat yang tepat. Tongkat kepemimpinan harus dipegang oleh orang yang tepat.
Mereka-mereka yang sanggup dengan tulus mengalirkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur di seluruh pelosok negeri, bukan sekedar membangun ‘infrasturktur’ diri sendiri dan kelompok sendiri. Membuncitkan perut dan kantong sendiri dengan cara paling sederhana untuk jadi kaya yaitu KORUPSI!
Memilih pemimpin yang jujur, tegas, sederhana, dan mampu melawan mafia, serta sanggup menolak radikalisme adalah keniscayaan.
Hari ini kita tak bisa main-main lagi dalam memilih pemimpin, karena kecewa belakangan bukan jalan keluar yang tepat.
Pilih pemimpin yang baik adalah kemestian. Kenapa? Oleh karena hanya dengan itu maka kita bisa teruskan mimpi indah kita tentang Indonesia yang lebih maju dan beradab. Hanya dengan itu kita lalu kemudian dapat memberikan kesaksian cerita indah bagi anak cucu kita kelak.
Saya melihat jalan Panjang Ahok dari Mako Brimob menuju Medan Merdeka bukan sebuah kemustahilan. Anda dan saya termasuk bagian yang menentukan terbukanya jalan itu!
Diam tak selamanya emas, bro! Lakukan sesuatu...
0 Response to "Ahok, Dari Mako Brimob Menuju Medan Merdeka Dampingi Jokowi"
Posting Komentar