loading...
Ditakdirkan lahir, besar dan tinggal di wilayah pedesaan membuat saya terkadang, bahkan mungkin cukup sering mengingkari nikmatNya. Namun semuanya berubah, saya merasa wajib sujud syukur saat itu juga, setiap kali saya mengunjungi sanak saudara atau saat ada urusan yang mengharuskan saya berada di tengah hiruk pikuk perkotaan.
Terlebih jika menyaksikan saudara-saudara kita yang tinggal di sekitar bantaran sungai, di kolong jembatan, berjubel di gang-gang sempit yang kumuh dan lain sebagainya. Antara iba dan penuh tanya. Luasnya lahan kosong di pedesaan, mengapa mereka memilih untuk 'menyiksa' diri dengan berkoloni di tempat kurang layak seperti itu?
Memang sih, sudah menjadi naluri alamiah dari pola pikir manusia sejak jaman azali. Berbondong-bondong merantau ke wilayah perkotaan demi mengubah nasib. Seperti pepatah lama, ada gula ada semut. Kota yang ramai bak gula super manis yang menjanjikan impian akan indahnya masa depan.
Selesai sekolah, entah memang sudah lulus atau karena terputus lantaran orang tua tak ada biaya, kebanyakan dari kita memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar. Sudah pasti, hidup lebih layak menjadi gambaran umum yang ada dalam angan-angan semua perantau.
Dengan modal skill, ijazah ataupun sekedar nekat, mereka berangkat menuju kota impian. Namun tak seindah dongeng, tak semanis cerita-cerita dalam sinetron motivasi. Nyatanya, hidup di kota besar bagaikan terjun ke tengah belantara liar. Persaingan yang 'tak manusiawi' menjadikan seleksi alam tak bisa dihindari.
Bagi yang beruntung (lebih tepatnya mampu melihat dan menangkap peluang secara benar), kehidupan mereka membaik seiring berjalannya waktu. Kualitasnya jauh berbeda dengan sebelum mereka pergi merantau. Memperoleh pekerjaan dengan gaji besar atau menemukan sebuah jalan mengembangkan bisnis dan lain-lain.
Sedangkan yang kurang mujur, kehidupan mereka tak lebih baik dibanding saat masih tinggal dan bekerja di desa. Bahkan tak sedikit yang malah kian terpuruk. Jauh dari impian awal. Pun tak kunjung membaik hingga mereka sudah berkeluarga hingga beranak pinak.
Akibatnya, secara 'terpaksa' mereka harus bertahan hidup dengan situasi yang saya gambarkan di awal tulisan ini. Tinggal di kawasan 'terlarang' sebab penghasilan mereka tak memungkinkan untuk membeli rumah atau tinggal di kontrakan.
Situasi dan kondisi seperti ini memang menjadi salah satu persoalan besar hampir di seluruh kota di dunia ini. Baik itu kota di negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Pemimpinnya selalu dipusingkan dengan persoalan menertibkan perkampungan di wilayah yang tak semestinya.
Tak terkecuali di Ibukota negara kita, DKI Jakarta. Di usianya yang lebih dari seabad, puluhan kali ganti pemimpin, nyatanya Jakarta belum mampu membersihkan diri dari pemandangan perkampungan liar. Karena ini memang masalah yang cukup pelik.
Bukan hanya pelik namun super rumit. Bagaimana tidak. Mau direlokasi, biaya tak sedikit. Mekanismenya juga tidak semudah mencetak aneka jargon kampanye pada banner-banner raksasa yang bertebaran di setiap musim pil-pilan tiba. Harus ada pertimbangan dari aspek sosial, ekonomi dan lain sebagainya.
Tidak direlokasi karena alasan keberpihakan, kemanusiaan atau 'omong kosong' sejenisnya. Ini justru membuat semuanya kian memburuk. Dampaknya multi dimensi. Pemandangan yang kurang sedap, penyakit tak terkendali karena kumuh hingga berakibat banjir dan lain-lain menjadikan penertiban itu sebuah keniscayaan.
Entah mau disebut apa, relokasi, penggusuran maupun penggeseran yang katanya lebih santun (prreeettt😀) atau apalah itu, nggak penting. Semua hanya soal istilah saja. Yang jelas, mau tidak mau mereka harus dipindahkan dari atas tanah milik negara yang ditempati sebagai hunian.
Itulah kenapa sebenarnya terlalu sulit dimengerti, ketika warga DKI lebih memilih pemimpin yang (katanya) santun, seiman dan tak akan menggusur rumah-rumah rakyat kecil. Hanya akan digeser. Sebab semua kebijakan akan diterapkan atas asas keberpihakan. Iya, kuncinya keberpihakan. Haha edian!
Siapapun orangnya, memimpin Jakarta dengan banjir sebagai PR utama, harus berani menertibkan pemukiman-pemukiman liar yang ada. Kecuali jika sepanjang 5 tahun ia ingin menjadi bahan ejekan masal karena tak terlihat berusaha 'mengeringkan' Jakarta.
Bicara memimpin dan mengelola Jakarta terutama soal banjir, tentu kita tak bisa tidak membicarakan Ahok. Dengan segala kontroversi yang melekat dalam dirinya, nyatanya Ahok cukup berhasil menjinakkan banjir di Jakarta.
Tak peduli dianggap tak memihak rakyat kecil karena gencar melakukan penggusuran, Ahok terus melangkah maju. Intimidasi dan resiko kalah di Pilkada karena kebijakannya nggak populer, tak pernah dipikirkan oleh Ahok. Ia hanya ingin Jakarta bebas (minimal berkurang) dari banjir.
Bahkan, mungkin karena sudah jengah dengan bullyan dari pendukung Anies, pernah suatu kesempatan Ahok bergurau tentang penggusuran yang ia lakukan. "Ya, kita sikat (tertibkan) terus. Kasihan sama Pak Anies nanti kalau nggak digusur (sekarang). Janjinya nggak digusur, tahu-tahu digusur, kan nggak enak. Kalau sekarang kan enak, bilang bukan gue (Anies) yang gusur, Ahok yang gusur," ungkap Ahok. Hahaha
Tapi gimana lagi, seperti pembahasan saya di atas. Mengelola Jakarta itu tak bisa menghindari yang namanya penggusuran. Demikian juga dengan Anies-Sandi. Mau tidak mau mereka harus tidak populer seperti Ahok maupun gubernur-gubernur DKI sebelumnya. Menggusur pemukiman liar.
Hanya saja citra santun dan berpihak kepada rakyat kecil yang selama ini mati-matian dibangun oleh Anies-Sandi terpaksa hancur dalam sekejap. Bukan soal dari yang katanya tidak menggusur ternyata kini menggusur. Bukan. Kalau soal itu, pendukung fanatik Anies-Sandi yang paling awam pun tau penggusuran akan tetap dilakukan.
Tapi seperti judul artikel ini. Peristiwa penertiban rumah-rumah semi permanen di Kampung Akuarium Penjaringan Jakarta Utara dilakukan oleh Pemprov DKI saat warga di sana masih tidur lelap. Sebab penggusuran dilakukan di pagi hari.
Dilansir oleh kompasdotcom, pembongkaran tenda dan gubuk liar di Kampung Akuarium yang dilakukan pada Selasa (29/5/2018), disebut tanpa pemberitahuan kepada warga.
Tokoh masyarakat Kampung Akuarium Upi Yunita mengatakan, warga telah menerima surat pembongkaran pada Senin (28/5/2018).
"Dia tulis (pembongkaran) dalam waktu dekat, tetapi, kan, bukan berarti besok paginya langsung dibongkar. Jam 6 pagi warga masih terlelap tidur, (tendanya) sudah dijebol," kata Upi saat dihubungi, Rabu (30/5/2018).
Ia menegaskan, warga umumnya tidak mengetahui bahwa pembongkaran akan dilakukan pada Selasa pagi.
Menurut dia, hal itulah yang memberatkan warga. "Ada apa sih begitu drastisnya di bulan Ramadhan setelah sahur, kok, kami digulung begitu saja tanpa diberitahukan orang-orang lagi tidur," ujarnya.
Bagaimanapun, saya menilai ini sebagai sesuatu yang tak manusiawi. Jauh dari jargon keberpihakan yang diusung Anies-Sandi waktu kampanye dulu. Sama sekali tak mencerminkan program yang katanya memanusiakan warga Jakarta.
Saya tak paham, atas pertimbangan apa penggusuran dilakukan di waktu sepagi itu. Tak bisakah menunggu para warga terbangun dari tidur mereka? Atau memang seperti itukah jika pemimpin itu seiman dan syar'i? Menggusur saja harus dilakukan secara berdekatan dengan waktu 'ibadah' sahur, begitukah?
Ahsu dahlah!
Terima kasih, salam PBNU!
0 Response to "Terlalu! Warga Kampung Akuarium Digusur Saat Masih Tidur Lelap"
Posting Komentar