Aktivis’98 “Telanjangi” Amien Rais: Dia Pengkhianat Bangsa!

loading...






Indonesia menjalani tahapan baru kehidupannya dalam berbangsa dan bernegara pasca lengsernya Soeharto dari takhtanya pada 21 Mei 1998. Era baru yang dinamai orde reformasi itu menjadi titik balik bangsa ini untuk merajut kembali kehidupannya menjadi sebuah kehidupan yang lebih demokratis dan humanis.

Sebelumnya, selama hampir 32 tahun lamanya, Indonesia hidup dalam kungkungan rezim orde baru. Rakyatnya hidup dalam kekangan dan tekanan penguasa. Rakyat tidak diberi kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya. Rakyat bagaikan burung yang hidup dalam sangkar. Seakan-akan bebas, nyatanya tidak.


Setiap pergerakan rakyat diamati oleh penguasa. Dilarang mengkritik pemerintah. Apalagi sampai melakukan demonstrasi, menjadi seuatu yang tabuh ketika itu. Mereka yang mencoba-coba vokal terhadap berbagai kebijakan pemerintah akan dicap sebagai pembangkang. Dan yang lebih parah lagi, disebut sebagai komunis.

Konon, ada ratusan ribu hingga jutaan orang yang dibantai oleh rezim Soeharto. Mereka yang ditengarai sebagai anggota PKI itu harus mengalami nasib nahas. Hidup mereka diakhiri ditembus peluru panas. Tanpa diproses secara hukum, mereka dihabisi. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang ingin merongrong kedaulatan bangsa.

Begitu pun para aktivis yang kerap menyuarakan kegelisahannya terhadap ketidakadilan yang dipertontonkan oleh pemerintahan Soeharto, para aktivis yang berusaha membela rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan, banyak yang sengaja dihilangkan oleh rezim orde baru yang bengis itu.

Setiap warga negara harus patuh kepada titah penguasa. Setiap warga negara harus melaksanakan apa pun yang diperintahkan oleh pemerintah, sekalipun itu bertentangan dengan hati nurani rakyat. Sebab jika mencoba-coba tidak patuh dan melaksanakan perintah, maka mereka harus bersiap diberi hukuman.

Semua diatur. Bahkan hingga menentukan pilihan di TPS pada saat Pemilu tiba, juga tidak terlepas dari intervensi pemerintah. Sekalipun ada tiga pilihan untuk dicoblos kala itu yakni Golkar, PDI, dan PPP, namun dua partai yang saya sebut terakhir hanya sebagai pelengkap saja. Setiap perhelatan Pemilu, hasilnya sudah dapat ditebak.

Hingga pada pelaksanaan Pemilu yang terakhir sebelum rezim orde baru tumbang, gerakan penolakan terhadap Soeharto sekaligus penolakan terhadapa Pemilu yang dianggap sebagai Pemilu ecek-ecek itu, mulai ramai disuarakan oleh para mahasiswa. Namun, gerakan penolakan itu masih terlihat samar-samar.

Dan setelah Soeharto kembali terpilih dan dilantik menjadi presiden untuk yang ketujuh kalinya, membuat kegeraman para mahasiswa, sebagai motor penggerak lahirnya orde reformasi, memuncak terhadap Soeharto. Mereka lalu melaksanakan rapat-rapat tertutup untuk menyusun strategi penggulingan Soeharto dari kursinya.

Para anak muda tersebut sangat menyadari bahwa mereka akan menghadapi jalan yang begitu terjal dalam perjuangan yang mereka akan lakoni. Namun, karena kecintaan mereka terhadap bangsa ini, mereka siap menghadapinya. Mereka bergerak. Saban hari mereka berdemo dengan satu tuntutan: “Turunkan Soeharto!!!

Dan benar saja, perjuangan menurunkan Soeharto yang kemudian menyebar ke berbagai kota-kota di Indonesia itu, mengakibatkan ribunya nyawa melayang. Ada begitu banyak warga etnis Tionghoa yang diperkosa, toko-toko dijarah oleh massa yang marah, hingga puluhan orang hilang yang hingga sekarang belum kembali.

Namun, di tengah keriuhan itu, di tengah aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa itu, ada seseorang yang ingin numpang tenar: Amien Rais. Hiruk-pikuk demonstrasi yang terjadi tahun 1998 itu, dijadikannya menjadi panggung untuk mencari popularitas. Dia datang bagai pahlawan. Padahal sesungguhnya dia hanya penumpang gelap.

Adian Napitupulu, yang menjadi salah satu jenderal lapangan ketika itu menyatakan bahwa mereka justru merasa aneh dan bertanya-tanya atas kemunculan Amien Rais dalam aksi yang mereka gelar. Orang yang sama sekali tidak pernah terlibat dalam rencana dan rapat aksi yang mereka laksanakan, tiba-tiba saja datang merebut panggung.


Dalam aksi yang mereka gelar di gedung MPR-DPR sebelum Soeharto menyatakan diri mundur dari jabatannya, Amien Rais tiba-tiba muncul dan berorasi. Namun para peserta aksi memprotes tindakan ngawurnya itu. Dia lalu diseret paksa agar turun dari panggung dan dilempari botol air mineral oleh para mahasiswa.

Aktivis’98 lainnya juga menyatakan hal senada. Bernard Ali Mumbang, Salomo Sinaga, Wahab Talaohu, Faizal Assegaf, dan Desmond J. Mahesa menyampaikan bahwa Amien Rais tidak pernah terlibat dalam setiap rapat-rapat yang mereka gelar. Bapak Reformasi yang disematkan kepadanya, dianggap tidak pantas oleh para aktivis tersebut.

Sri Bintang Pamungkas pendiri Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) itu bahkan menyampaikan tuduhan yang lebih kasar lagi. Aktivis yang merupakan musuh abadi rezim orde baru itu bahkan menyebut Amien Rais sebagai pengkhianat bangsa karena dia dinilai tidak konsisten memperjuangkan cita-cita reformasi.

Amien Rais memang seorang politikus oportunis. Bergulirnya era reformasi, berkat jerih lelah para mahasiswa itu, mengantarkannya menjadi Ketua MPR-RI periode 1999-2004. Selama menjabat sebagai Ketua MPR, tidak lantas membuat dirinya terlepas dari berbagai pernyataan dan keputusan kontroversial.

Ketika Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri sebagai presiden, Amien Rais begitu gencar menyuarakan bahwa dalam ajaran Islam tidak dibenarkan menjadikan perempuan sebagai pemimpin. Dia lalu mendukung Abdurrahman Wahid (Gusdur). Dan akhirnya Gusdur terpilih menjadi presiden menggantikan B.J Habibie.

Namun, karena kepentingannya tidak diakomodir oleh Gusdur, dia lalu menghembuskan isu tidak sedap yang menyasar Gusdur. Ia dituduh melakukan korupsi yang kemudian dikenal dengan kasus Buloggate. Belakangan, tuduhan korupsi terhadap Gusdur tersebut tidak terbukti. Semua hanya karena permainan politik Amien Rais.

Dia lalu mendukung Megawati Soekarnoputri menjadi presiden menggantikan Gusdur yang dimakzulkan oleh MPR-RI lewat gelaran Sidang Istimewa MPR. Megawati yang sebelumnya dianggap tidak layak oleh Amien Rais sebagai pemimpin itu karena ia seorang perempuan, namun di kemudian hari dia mengingkarinya.

Begitulah Amien Rais. Dan hingga kini, Amien Rais masih tetap begitu. Dia masih belum berubah. Dan nampaknya justru semakin parah.


0 Response to "Aktivis’98 “Telanjangi” Amien Rais: Dia Pengkhianat Bangsa!"

Posting Komentar