loading...
Baru saja Pilkada DKI selesai, borok lama kini muncul lagi di Tanah Abang. Kawasan perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara yang selama masa kepemimpinan Ahok sudah teratur, tertib, dan bebas dari kemacetan, kini awut-awutan, kumuh, semrawut dan kemacetan yang luar biasa.
Mulai dari jalan Jati Baru sampai ke arah jalan KS Tubun, kemacetan parah sampai kendaraan pun tidak bisa bergerak karena para pedagang kaki lima yang berjubelan berjualan semau-maunya mereka sampai meluber ke badan jalan, ditambah lagi dengan ulah sopir angkot dan tukang ojek yang ngetem seenaknya yang mengakibatkan menyempitnya ruas jalan.
Kondisi trotoar Pasar Tanah Abang yang telah dipercantik dan diperluas Ahok dari 3 meter menjadi 9-10 meter, kini nasibnya sangat mengenaskan, kumuh dan semrawut dipenuhi sampah dan pedagang kaki lima, mulai dari pedagang kain hingga pedagang gorengan yang berjubel-jubelan di Trotoar yang diperluas dan dipercantik Ahok dengan susah payah.
Para pedagang mengaku pemimpin DKI yang baru akan beda tindakannya sehingga mereka pun ramai-ramai menyerbu kembali Tanah Abang. Selain di Tanah Abang yang kini kumuh, kotor dan semrawut, hal yang serupa tapi tak sama juga terjadi di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara. Kawasan yang telah dirapihkan Ahok dulu kini telah dipenuhi 150 bangunan liar.
Bangunan-bangunan liar yang terbuat dari tripleks itu baru dibangun dalam sepekan terakhir setelah pilkada putaran kedua usai pada tanggal 19 April.2017. Sama halnya dengan PKL di Tanah Abang, warga liar itu juga meyakini bahwa Gubernur DKI yang baru Anies Baswedan tidak akan menertibkan mereka sesuai janji-janjinya semasa kampanye.
Sebagai ibu kota negara, pusat ekonomi, dan pemerintahan, Jakarta selayaknya menjadi etalase Indonesia, namun sayangnya mayoritas warga Jakarta adalah rakyat kecil yang kurang pendidikan dan mudah dibodohi dengan isu agama. Akibatnya ya begini jadinya, Jakarta yang sudah bagus di tangan Ahok, kini kumuh, kotor dan semrawut, karena merasa pemimpin yang baru tidak akan menertibkan mereka.
Jakarta adalah ibu kota negara, yang harusnya menjadi barometer dan teladan bagi kota-kota lainnya, tapi yang terjadi justru sebaliknya, giliran ada Gubernur yang bagus di depan mata yang mau memperhatikan nasib mereka sebagai warga kecil, justru mereka tolak ramai-ramai secara berjamaah hanya karena Ahok Cina dan beragama Kristen.
Upaya dan kerja keras Ahok mewujudkan Jakarta yang bebas dari banjir, kesemrawutan, kemacetan, pedagang kaki lima dan permukiman kumuh ternyata tidak cukup membuat mayoritas warga Jakarta memilihnya untuk memimpin Jakarta lima tahun kedepan. Miris memang, tapi mau bilang apa lagi? Sad but true.
Kerja keras Ahok dan timnya selama ini untuk memoles wajah kumuh Ibu Kota tidak berarti apa-apa bagi mereka. Tidak kurang dari 10 kawasan kumuh di seantero Jakarta telah ditata Ahok dengan baik, mulai dari kawasan permukiman kumuh Luar Batang, kawasan prostitusi dan hiburan malam Kalijodo, Jakarta Utara, sampai kawasan Bidaracina di Jakarta Timur, semuanya dirapihkan dan ditata Ahok.
Bukan hanya itu saja, dari 2.200 titik banjir, kini yang tersisa hanya tinggal 80 titik banjir. Sungai-sungai di Jakarta yang dulu kotor, bau dan dipenuhi sampah dan laler, kini airnya bersih dan jernih, sehingga anak-anak pun tanpa rasa jijik lagi bebas mandi dan jumpalitan di air sungai yang bersih dan jernih.
Begitu juga dengan pelayanan publik di ruang lingkup Pemprov DKI Jakarta, mulai dari pungli dan berbelitnya birokrasi dibabat Ahok tanpa ampun. Kedisiplinan, etos kerja dan produktivitas yang tinggi telah ia tanamkan dengan susah payah dikalangan Pemprov DKI Jakarta. Namun kini apa yang ia dapat? Nasi sudah menjadi bubur.
Kesemrawutan kini mulai merajalela karena mereka tahu Ahok kalah pilkada. Mungkin ini juga salah satu sebab mereka tidak pilih Ahok agar mereka bebas merajaleka semau-maunya di Jakarta. PKL liar, tukang parkir liar dan premanisme kembali menyerbu ruang terbuka hijau dan ruang publik terpadu ramah anak.
Begitu juga yang terjadi di kawasan Pasar Ikan dan lingkungan Kampung Luar Batang, kini dipenuhi dengan bangunan liar. Para penghuni liar itu berpatokan pada janji-janji Anies Baswedan semasa kampanye yang mengedepankan dialog dan pemberdayaan dengan tidak akan menggusur rakyat kecil. Akibatnya fatal, Jakarta kini jadi rusak lagi.
Benar kata orang luar Jakarta, kalau Ahok kalah dalam pilkada DKI, yang rugi bukan Ahok, tapi warga Jakarta. Kini warga DKI bisa melihat bedanya. Selama kurang lebih tiga tahun lamanya memimpin Jakarta, Ahok telah menorehkan kenangan yang terindah dalam hati rakyat yang memilihnya.
Ia bukan saja telah berhasil mengubah birokrasi dan meningkatkan kinerja Pemprov Ibu Kota yang bersinergi dan,mengedepankan pelayanan, melainkan juga telah berhasil menerapkan standard yang tinggi dalam ruang lingkup birokrasi Pemprov DKI.
Namun sayangnya lebih dari 50% warga Jakarta telah membuang sebutir intan yang tidak ternilai harganya akibat alam bawah sadar mereka yang secara terus menerus direcoki racun primordialisme dan sentimen agama.
Mulai dari jalan Jati Baru sampai ke arah jalan KS Tubun, kemacetan parah sampai kendaraan pun tidak bisa bergerak karena para pedagang kaki lima yang berjubelan berjualan semau-maunya mereka sampai meluber ke badan jalan, ditambah lagi dengan ulah sopir angkot dan tukang ojek yang ngetem seenaknya yang mengakibatkan menyempitnya ruas jalan.
Kondisi trotoar Pasar Tanah Abang yang telah dipercantik dan diperluas Ahok dari 3 meter menjadi 9-10 meter, kini nasibnya sangat mengenaskan, kumuh dan semrawut dipenuhi sampah dan pedagang kaki lima, mulai dari pedagang kain hingga pedagang gorengan yang berjubel-jubelan di Trotoar yang diperluas dan dipercantik Ahok dengan susah payah.
Para pedagang mengaku pemimpin DKI yang baru akan beda tindakannya sehingga mereka pun ramai-ramai menyerbu kembali Tanah Abang. Selain di Tanah Abang yang kini kumuh, kotor dan semrawut, hal yang serupa tapi tak sama juga terjadi di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara. Kawasan yang telah dirapihkan Ahok dulu kini telah dipenuhi 150 bangunan liar.
Bangunan-bangunan liar yang terbuat dari tripleks itu baru dibangun dalam sepekan terakhir setelah pilkada putaran kedua usai pada tanggal 19 April.2017. Sama halnya dengan PKL di Tanah Abang, warga liar itu juga meyakini bahwa Gubernur DKI yang baru Anies Baswedan tidak akan menertibkan mereka sesuai janji-janjinya semasa kampanye.
Sebagai ibu kota negara, pusat ekonomi, dan pemerintahan, Jakarta selayaknya menjadi etalase Indonesia, namun sayangnya mayoritas warga Jakarta adalah rakyat kecil yang kurang pendidikan dan mudah dibodohi dengan isu agama. Akibatnya ya begini jadinya, Jakarta yang sudah bagus di tangan Ahok, kini kumuh, kotor dan semrawut, karena merasa pemimpin yang baru tidak akan menertibkan mereka.
Jakarta adalah ibu kota negara, yang harusnya menjadi barometer dan teladan bagi kota-kota lainnya, tapi yang terjadi justru sebaliknya, giliran ada Gubernur yang bagus di depan mata yang mau memperhatikan nasib mereka sebagai warga kecil, justru mereka tolak ramai-ramai secara berjamaah hanya karena Ahok Cina dan beragama Kristen.
Upaya dan kerja keras Ahok mewujudkan Jakarta yang bebas dari banjir, kesemrawutan, kemacetan, pedagang kaki lima dan permukiman kumuh ternyata tidak cukup membuat mayoritas warga Jakarta memilihnya untuk memimpin Jakarta lima tahun kedepan. Miris memang, tapi mau bilang apa lagi? Sad but true.
Kerja keras Ahok dan timnya selama ini untuk memoles wajah kumuh Ibu Kota tidak berarti apa-apa bagi mereka. Tidak kurang dari 10 kawasan kumuh di seantero Jakarta telah ditata Ahok dengan baik, mulai dari kawasan permukiman kumuh Luar Batang, kawasan prostitusi dan hiburan malam Kalijodo, Jakarta Utara, sampai kawasan Bidaracina di Jakarta Timur, semuanya dirapihkan dan ditata Ahok.
Bukan hanya itu saja, dari 2.200 titik banjir, kini yang tersisa hanya tinggal 80 titik banjir. Sungai-sungai di Jakarta yang dulu kotor, bau dan dipenuhi sampah dan laler, kini airnya bersih dan jernih, sehingga anak-anak pun tanpa rasa jijik lagi bebas mandi dan jumpalitan di air sungai yang bersih dan jernih.
Begitu juga dengan pelayanan publik di ruang lingkup Pemprov DKI Jakarta, mulai dari pungli dan berbelitnya birokrasi dibabat Ahok tanpa ampun. Kedisiplinan, etos kerja dan produktivitas yang tinggi telah ia tanamkan dengan susah payah dikalangan Pemprov DKI Jakarta. Namun kini apa yang ia dapat? Nasi sudah menjadi bubur.
Kesemrawutan kini mulai merajalela karena mereka tahu Ahok kalah pilkada. Mungkin ini juga salah satu sebab mereka tidak pilih Ahok agar mereka bebas merajaleka semau-maunya di Jakarta. PKL liar, tukang parkir liar dan premanisme kembali menyerbu ruang terbuka hijau dan ruang publik terpadu ramah anak.
Begitu juga yang terjadi di kawasan Pasar Ikan dan lingkungan Kampung Luar Batang, kini dipenuhi dengan bangunan liar. Para penghuni liar itu berpatokan pada janji-janji Anies Baswedan semasa kampanye yang mengedepankan dialog dan pemberdayaan dengan tidak akan menggusur rakyat kecil. Akibatnya fatal, Jakarta kini jadi rusak lagi.
Benar kata orang luar Jakarta, kalau Ahok kalah dalam pilkada DKI, yang rugi bukan Ahok, tapi warga Jakarta. Kini warga DKI bisa melihat bedanya. Selama kurang lebih tiga tahun lamanya memimpin Jakarta, Ahok telah menorehkan kenangan yang terindah dalam hati rakyat yang memilihnya.
Ia bukan saja telah berhasil mengubah birokrasi dan meningkatkan kinerja Pemprov Ibu Kota yang bersinergi dan,mengedepankan pelayanan, melainkan juga telah berhasil menerapkan standard yang tinggi dalam ruang lingkup birokrasi Pemprov DKI.
Namun sayangnya lebih dari 50% warga Jakarta telah membuang sebutir intan yang tidak ternilai harganya akibat alam bawah sadar mereka yang secara terus menerus direcoki racun primordialisme dan sentimen agama.
0 Response to "Anies Baswedan Menang, Hukum Rimba kembali Merajalela di Tanah Abang"
Posting Komentar